SEJARAH DESA PURWASABA
Sejarah Pemerintahan
Dahulu kala wilayah Desa Purwasaba masuk kedalam wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh Purba, jauh sebelum Majapahit. Wilayah ini belum berpenghuni dan belum bernama Purwasaba. Tidak diketahui secara pasti mulai kapan wilayah ini menyandang nama Purwasaba.
Wilayah Purwasaba saat zaman kekuasaan wilayah Mataram Islam Masuk kedalam Wilayah Bagelan,Negaraagung. Sistem pemerintahan zaman Sultan Agung wilayah mataram terbagi secara konsentris menjadi tiga lapis wilayah kekuasaan yaitu Kutanegara, negaraagung dan mancanegara.
Pada 27 September 1830, terjadi perjanjian Giyanti. Penandatanganan kesepakatan antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Pemerintah Kasultanan Mataram yang berisi tentang pembagian Wilayah administratif Jawa. Termasuk didalamnya Wilayah Bagelan diserahkan Kepada Pemerintah Hindia Belanda. Secara otomatis termasuk Wilayah Purwasaba masuk kedalam kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Demang Kramayudha (mas kramayudha), beliau adalah Kepala Pemerintahan yang memimpin Purwasaba saat itu. Pernah Menjabat sebagai Patih di Dayeuh Luhur yang saat itu dipimpin oleh Regent Raden Tumenggung Prawiranegara. Atas dugaan membantu Pangeran Diponegoro R.T. Prawiranegara dicopot dari jabatannya. Dengan surat Asisten Residen Ajibarang pada tanggal 24 Oktober 1831 no.184 Kadipaten Dayeuh Luhur merosot diturunkan statusnya menjadi kepatihan(pattehschap) Dayeuh-Luhur Kabupaten Ajibarang, yang dipimpin oleh Mas Kramayudha. Menurut Residen Banyumas Mr. G. de Seriere, Mas Kramayuda adalah pejabat yang sangat giat, ikut mendirikan bangunan dicilacap,ikut membangun terusan dan hidup dirawa-rawa.oleh karena itu sakit dan tidak dapat keluar dari rumahnya. Bisa dikatakan mas kramayuda adalah korban pejabat ketiga pembangunan terusan di cilacap. Akibat usul Residen Banyumas Mr. G. de Seriere memindahkan ibukota Pattehschap Dayu-Luhur dari majenang ke cilacap (sekarang). Menurut Mangkoewinata, Mas Kramayuda lebih suka dipensiunkan atau diturunkan pangkatnya menjadi Wedana, asalkan tidak ditempatkan dicilacap, sebab saat itu cilacap sangat angker.
Nyi Mas Kramayudha adalah istri dari Mas Kramayudha, Beliau mendampingi suaminya dalam menjalankan tugas kenegaraan, memimpin pemerintahan. Mengatur Tata Letak pusat Pemerintahan sesuai pakem pada saat itu. Mereka dikaruniai dengan beberapa putra.
Nyi mas kramayudha adalah anak kelima dari Kramaleksana dengan istrinya Rara Rinten.
Menurut beberapa sumber salah satunya Babad Sruni, Kramaleksana mempunyai istri dua orang. Isteri pertama adalah anak dari Tumenggung Kertinegara Sruni, sedangkan isteri kedua adalah anak dari Raden Tumenggung Wiraguna kartasura. Dari keduanya Kramaleksana memiliki lima belas (15) orang anak yaitu :
- Ngabehi Wiryakrama, mantri Gunung ing Tlagagapitan; (salah satu putrinya dijadikan isteri kelangenan dari Sultan Hamengku Buwana II dan bergelar Bandara Raden Ayu Nilaresmi, kemudian menurunkan Gusti Raden Ayu Pringgadirja).
- Mbok Mas Dipayuda.
- Ngabehi Kramadirja, Mantri Nangkil Ngayogyakarta. Setelah selesai bertugas, ia kemudian kembali ke Selang dan berganti nama menjadi Ki Kramasentika, akan tetapi oleh masyarakat setempat kemudian lebih dikenal sebagai Ki Kramareja.
- Mbak Mas Rara Ketul, kemudian menjadi isteri Kelangenan Hamengku Buwana I dan bergelar Bandara Raden Ayu Handayahasmara, kemudian menurunkan : Bandara Pangeran Harya Hadikusuma, Bandara Raden Ayu Juru, dan Bandara Pangeran Harya Balitar.
- Mbok Mas Kramayuda.
- Ki Secawijaya, setelah menjadi Mantri Nangkil ing Ngyogyakarta menggantikan saudara laki lakinya kemudian bergelar Ngabehi Kramadirja.
- Ki Kramadiwirya.
- Ngabehi Resadirja, menikah dengan cicit/buyut Mangkunegaran Sambernyawa Surakarta.
- Ngabehi Kramataruna.
- Ki Kramatirta.
- Ki Resadiwirya
- MBok Mas Wiryayuda (Setrareja).
- Mbok Mas Resapraja (Kramasentika).
- Ki Honggawijaya, setelah menjadi Mantri bergelar Ngabehi Kramayuda, isterinya dari Surakarta, dan menurunkan salah satunya Ngabehi Jayapranata yang di kemudian hari menjadi Patih Mangkunegaran. Anak perempuan Ngabehi Jayapranata dijadikan isteri kelangenan Pangeran Mangkunagara III dan bergelar Mas Ajeng Handayaresmi, menurunkan dua orang yakni Raden Mas Suryahandaka dan Raden Ajeng Kuning (menikah dengan Pangeran Harya Gandahatmaja anak dari Pangeran Adipati Mangkunagara IV Surakarta).
- Mbok Mas Jawidenta.
Anak – anak Kramaleksana tersebut di atas, mulai dari nomor 1 hingga 5 dilahirkan dari isteri pertamanya (Puteri Tumenggung Kertinegara Sruni), sedangkan anak nomor 6 hingga 15 dilahirkan dari isteri kedua (Puteri Tumenggung Wiraguna Kartasura).
Leluhur dari Kramaleksana dan Bandara Raden Ayu Turunsih.
Alur leluhur Kramaleksana diketahui berasal dari Kyai Aden. Ada perbedaan pendapat mengenai sosok Kyai Aden. Dalam Babad Sruni, Kyai Aden ditulis sebagai anak dari Jaka Lancing (Mbah Lancing). Sedangkan menurut Sarasilah (silsilah Raja – raja Jawa) halaman 40 diketahui bahwa Kyai Aden adalah guru dari Raden Jaka Lancing. Raden Jaka Lancing/Raden Banyak Patra/Harya Surengbala/Panembahan Madiretna adalah anak ke 50 dari Brawijaya V (Raden Alit) yang lahir dari isteri selir dan sengaja diserahkan kepada Kyai Aden Gesikan untuk dididik.
- Kyai Aden Gesikan, berputra;
- Kyai Sutamenggala (Sruni), berputra;
- Kyai Sutapraja (Sruni), berputra;
- Kyai Kramayuda (Sruni), berputra (diantaranya);
- Kyai Kramaleksana dan Bandara Raden Ayu Turunsih.
Leluhur dari Nyai Kramaleksana (isteri pertama)
Dari Babad Sruni diketahui bahwa Nyai Kramaleksana yang merupakan anak dari Tumenggung Kertinegara Sruni memiliki alur Majapahit sebagai berikut:
- Prabu Brawijaya terakhir menurunkan;
- Raden Jaka Pekik/Harya Jaranpanolih Sumenep (Saudara Jaka Lancing), berputra;
- Harya Leka (Sumenep), berputra;
- Jambaleka (Sumenep), berputra;
- Ki Mas Manca/Harya Mancanagara (Patih Pajang), berputra;
- Ki Mas Tumenggung Pramonca (Sruni), berputra;
- Raden Tumenggung Kertinegara I (Sruni), berputra;
- Kertileksana, Kertisentika, Rara Rinten (dari isteri pertama), dan Rara Ranti (dari isteri kedua). Rara Rinten kemudian dinikahkan dengan Kramaleksana dan menurunkan Bandara Raden Ayu Handayasmara. Sedangkan Rara Ranti dinikahkan dengan Putra dari Sutawijaya (Kutowinangun/Merden).
Tata letak Dusun Krajan Pra-Desa Purwasaba, dibentuk dengan pakem Mataram Islam yang digambarkan Panembahan Senopati dengan jejuluk Pangeran lor ing Pasar. Dari para pinisepuh diceritakan ada dua buah tugu sejajar disebelah utara pasar,dulu tugu-tugu itu sering diberikan sesaji sebagai tanda penghormatan kepada kekuatan gaib yang bertugas sebagai penjaga tugu tersebut. Tugu selatan sebagai pembatas antara Pasar dan kediaman sang demang, tugu utara sebagai pembatas utara. Sekarang tugu-tugu itu telah hancur dan tidak lagi diperlakukan seperti dulu, karena pemahaman masyarakat akan nilai-nilai agama semakin meningkat. Anak yang tumbuh dikisaran tahun 90an tentu tidak asing dengan cerita tentang ‘setan jaran’ yang berada +200 m disebelah timur tugu, dikarenakan dahulu kala ada kuda yang dikuburkan disitu, mitos ini berkembang karena ketidak tahuan dan juga karena nilai-nilai mistis masyarakat yang masih merekat begitu kuat. Namun, mitos tersebut ternyata memiliki nilai sejarah tersendiri, dikarenakan disebelah utara kuburan kuda yang sekarang hanya kebun biasa dulunya adalah kandang kuda milik demang. Dipasar sendiri dahulu ada dua beringin besar yang berdiri kokoh. Dari kediaman sang Demang sampai dengan pemandian kalimundu terdapat sebuah jalan yang sekarang disebut galur. dahulu kala, ada larangan tidak boleh ada orang yang membangun rumah ataupun bangunan lainnya yang nylekadang (menghalangi) sepanjang galur/jalur kediaman demang sampai kalimundu,apabila dilanggar akan celaka,dikarenakan itu adalah jalan khusus yang demang lalui untuk menuju kepemandian.
Kalimundu adalah sebuah tempat pemandian umum yang berada ditengah pematang sawah sebelah selatan pasar Purwasaba. Tempat ini dipercaya memiliki nilai mistis tersendiri oleh sebagian masyarakat. Terdapat mitos bahwa Demang Kramayuda meninggal di Pemandian Kalimundu.
Tidak diketahui darimana kisah kematian sang demang berasal,namun cerita kematian Sang Demang sudah sangat umum ditelinga masyarakat Purwasaba hingga saat ini.
- Alkisah, sang Demang memiliki kemampuan merubah dirinya menjadi sebatang kayu, dikarenakan sang Demang memiliki hobi melihat “barange wong wadon” maka dia merubah dirinya menjadi sebatang kayu tatakan yang biasanya berada ditepi kolam.namun, ada petani yang habis ‘macul’/ bertani saat mencuci cangkulnya ia menancapkan cangkul tersebut kebatang kayu dan keluarlah darah sehingga sang Demang meninggal.
- Versi cerita kedua adalah karena sang demang suka melihat wanita mandi, ia ingin melihat “barange wong wadon”/ kemaluan wanita se-Purwasaba. Maka ia melakukan tindakan bunuh diri dengan memotong urat nadinya hingga meninggal, berharap bisa melihat orang mandi setiap hari.
Di zaman modern ini, apabila kita mau menganalogikan dengan akal, kedua cerita tersebut diatas sangat tidak masuk diakal, terlalu mengada-ada dan diadakan. Alasannya :
1. Mas Kramayuda sampai dengan akhir hayatnya hanya memiliki satu orang istri, hal itu membuktikan beliau adalah orang yang setia, padahal dengan kedudukannya sebagai patih atau jabatan sesudahnya, memiliki istri banyak pada saat itu sudah menjadi hal yang wajar.
2. Demang Kramayudha tidak memiliki kemampuan berubah menjadi kayu.
3. Kehormatan pejabat dengan jabatannya sangat tinggi. Tidak mungkin menyengaja melakukan perbuatan hina untuk menurunkan kehormatannya.
4. Hukum VOC pada saat itu sudah cukup ketat, penghilangan nyawa apapun alasannya. Apalagi korbannya seorang Pejabat seharusnya mendapat sangsi hukum. Namun, ternyata kasus itu tidak pernah sampai kepengadilan, hal itu dapat terjadi apabila beliau bertentangan dengan pihak VOC.
- Versi ketiga, Perang Jawa atau perang Diponegoro (1825-1830) sangat memberikan dampak kerugian dan traumatis bagi VOC, hal ini mempengaruhi pada kebijakan-kebijakan ekonomi, politik dan hukum yang diambil oleh VOC. Dalam rangka memuluskan jalannya kepentingan VOC di Jawa, mereka berusaha mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintahan Mataram, memecah Mataram menjadi Kasunanan dan Kasultanan yang sering disebut dengan “Pangalihan Nagari”, mengambil alih wilayah Negaraagung dan Mancanegara Mataram, mengganti pejabat-pejabat yang anti Kolonial, menata administratif Jawa. Sebagai contoh, Bupati banjar ketiga Dipoyono ditemukan meninggal bunuh diri tanpa sebab yang jelas, R.Tumenggung Prawiranegara dibuang ke banda, ada yang mengatakan karena dianggap gila dibuang ke Padang. Begitu juga dengan Mas Kramayuda, keterlibatannya dalam membantu Pangeran Diponegoro melalui R.T. Prawiranegara dan juga konflik kebijakan karena pada saat itu didaerah” Penguasaan banyak terjadi Dualisme kepemimpinan antara eks Pejabat Mataram dan juga Pejabat-pejabat baru bentukan kolonial. Pada saat itu sisa Kadipaten Pecahan Wirasaba yang masih berdiri adalah Kadipaten Banyumas di Banyumas. Sedangkan diarah timur hanya tersisa Banjar (watu Lembu) yang berada disebelah Utara sungai serayu sedangkan kadipaten wirasaba sendiri dan kadipaten merden sudah turun status menjadi Desa biasa. Purwasaba bukanlah bagian dari Kadipaten Merden maupun Banyumas, ketidak jelasan pengaturan administratif dan batas wilayah Banjarnegara saat itu menyulitkan Pihak Kolonial di dalam menentukan dan menerapkan kebijakannya. Salah satu ‘duri dalam daging’ adalah mas kramayuda, yang dikhawatirkan akan melakukan gerakan perlawanan membantu pejuang-pejuang bangsa pada saat itu. Apalagi kalo kita mau menilik sejarah bahwa kakek dari nyi mas kramayuda yaitu R. Kertinegara adalah Pemberontak yang melawan kezaliman Amangkurat I, yang bekerjasama dengan R.Trunojoyo, Sutamenggala dan juga mas Rahmat Putra Amangkurat I, sehingga Pemerintahan Amangkurat I dapat digulingkan. Kekhawatiran itu yang membuat was-was Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sedangkan Perang Jawa yang dilancarkan Pangeran Diponegoro membawa dampak Kebangkrutan pada VOC, negeri Belanda tersandung hutang dan menerapkan sistem Tanam Paksa untuk dapat mengisi kembali kas Negara.
Propaganda dilancarkan VOC. Demang Kramayuda mati dibunuh oleh pihak VOC di kalimundu, untuk menutupi kejadian tersebut segala mitos disebarkan, penjatuhan citra pemimpin pada rakyatnya, sebagai pemimpin yang rela mati hanya untuk dapat melihat kemaluan wanita se-Purwasaba.
Demang kramayuda dimakamkan dipemakaman Umum Kuncen, didalam bangunan yang berada ditengah pemakaman, untuk menuju kesana melalui beberapa undakan. Demang kramayuda adalah Pemimpin yang arif dan bijaksana, yang memberikan contoh kepada kita bahwa berjuang bukan hanya dengan senjata, namun dengan ilmu, kerjakeras, kesetiaan dan kasih sayang, mengayomi masyarakatnya dengan cinta kasih untuk mencapai kemajuan bersama.
Asal nama Desa Purwasaba
- Teori yang pertama, Secara etimologi nama “Purwasaba” berasal dari dua buah kata yaitu Purwa dan saba.
- Purwa ((kamus bahasa indonesia))
1 ks mula-mula;permulaan;dahulu ; 2kb yang memisahkan cerita mahabharata dan ramayana(tentng wayang)
Saba((kamus populer bahasa indonesia)),bersaba v bergaul;berkunjung;menyaba v mendatangi;mengunjungi kerap kali
- Purwa-saba = mula;mula;permulaan;dahulu-mendatangi;mengunjungi kerap kali
Sehingga dapat dimaknai dengan seringkalinya orang banyak berkumpul diwilayah ini maka desa ini disebut dengan purwasaba. hal ini dapat dilihat hingga saat ini, dimana orang banyak berkumpul dari berbagai daerah untuk datang ke pasar Purwasaba.
- Teori yang kedua, Purwasaba berasal dari kata Purasaba, yang beralih bentuk dari pura-saba menjadi purwa-saba.
- Pura : Kedaton,
- Purwa-saba = mula;mula;permulaan;dahulu-mendatangi;mengunjungi kerap kali
Sebuah pemerintahan yang baru, kebijakan yang pertama dibuat adalah kebijakan ekonomi, dengan adanya pasar akan mengundang khalayak ramai untuk datang. Perputaran uang akan menambah kas pemerintahan, keamanan lebih ditingkatkan dan banyak orang ramai datang untuk menetap. Maka semakin ramailah purwasaba saat itu. Bahkan para sepuh dari desa-desa sekitar mengatakan, pada saat Purwasaba sedang hari pasaran suaranya bisa terdengar sampai desa-desa tetangga seperti suara dengungan lebah.
Catatan :
- Dulu pernah berdiri Kadipaten Mandiraja yang ikut serta memasok bahan pangan kemiliteran di Panjer, pada saat Sultan Agung menyerang Batavia
- Untuk penetapan daerah baru pasca Perang Diponegoro, Hamengkubuwono mengirimkan “KOMMISSARISSEN TER REGELING DER VORSTEN LANDEN”. Sebuah laporan tertanggal soekaradja 20 September 1830/dalam bundle arsip Banyoe Maas 1C ‘’Banjoemas Verslag”1830 menyebutkan: daerah banyumas terdiri dari wilayah : Banyumas, Banjar, Sigaluh, Wonokerto, Mandiraja, Purbalingga, Kertanegara, Sokaraja, Purwokerto, Patikraja, Ayah, Jeruk legi-perdikan, Pengrembes Perdikan, pengrembes-pancang, pengrembes-… : tak terbaca, Donan-perdikan,Tanah Dayeuh Luhur.
- Resolutie 22 Agustus 1831 No.1 antara lain wilayah kabupaten Banjarnegara terbagi dari 5 kawedanan dengan nama : Banjar,Singomerto,Wonoyoso,Batur dan Pagentan.
Perpindahan pusat kota Kabupaten dari Banjar(watu lembu) disebelah utara sungai serayu ke sebelah selatan sungai serayu menjadikan Kota Banjar menjadi Kabupaten Banjarnegara yang dipimpin oleh Dipayuda IV, berdasarkan Besluit 22 Agustus 1831. Perencanaan dan pengorganisasian didalam pengelolaan wilayah baru ini semakin membawa kemakmuran bagi masyarakat Banjarnegara.
"boleh minta kontak pemerintah desa purwasaba, untuk keperluan study banding
"bisa langsung menghubungi lewat email purwasabaoke@gmail.com